Jumat, 27 April 2012


A. Pengertian Uang
Uang adalah alat tukar yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara untuk melakukan tukar-menukar barang, jasa, dan atau faktor produksi.
a. Syarat-syarat Uang
1.Diterima secara umum
2.Mudah dibawa-bawa
3.Tidak mudah rusak (tahan lama)
4.Jumlahnya memenuhi kebutuhan (tidak berlebih¬lebihan)
5. Nilainya stabil (tidak mengalami perubahan)
b. Jenis-jenis Uang
1.Uang kartal, yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank sentral dan langsung dapat digunakan sebagai pembayaran. Contoh: uang kertas dan logam.
2.Uang giral, yaitu uang dalam bentuk simpanan deposito/giro dan dapat digunakan sewaktu-waktu. Contoh: kartu kredit, cek, bilyet giro. dan lain-lain.
c. Permintaan Uang
Permintaan uang adalah keinginan masyarakat untuk memegang kekayaan dalam bentuk uang tunai. Menurut JM Keynes terdapat tiga motif permintaan uang, yaitu
1.Motif transaksi (transaction motive)
2.Motif berjaga-jaga (precautionary motive)
3.Motif spekulasi (speculative motive)

d. Penawaran Uang
Penawaran uang sering juga disebut dengan istilah jumlah uang beredar. Yang memengaruhi penawaran uang, antara lain:
e. Fungsi atau Peranan Uang
B.Bank
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghim pun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit, dan atau bentuk¬bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
C.Jenis dan Tugas Pokok Bank
a. Bank Sentral
Bank sentral adalah bank yang mengatur dan mengawasi kegiatan lembaga-lembaga keuangan yang terdapat dalam perekonomian. Nama bank sentral disesuaikan dengan nama negara yang bersangkutan, bank sentral di Indonesai adalah Bank Indonesia (BI). Tugas bank sentral (Bank Indonesia) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, yaitu dengan menentukan tingkat suku bunga, operasi pasar. dan pengendalian kas yang dimiliki bank.
2.Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, yaitu dengan memberikan wewenang dalam melaksanakan dan memberikan izin penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
3. Mengatur dan mengawasi bank, yaitu memiliki wewenang menetapkan ketentuan perbankan, melakukan pemeriksaan, dan memberikan sanksi pada bank.
b. Bank Umum
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Usaha yang dilakukan oleh bank umum menurut UU No. 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:
c. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam upaya pelayanan tersebut, beberapa kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPR, antara lain:
1.Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan (saving deposit) atau deposito berjangka (time deposit).
2.Memberikan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan.
3. Menyediakan pembayaran kepada nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4 Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), tabungan, atau deposito berjangka pada bank lain.
D. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah di bidang keuangan, yaitu kebijakan pemerintah untuk menjaga kestabilan nilai rupiah dan mengendalikan jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Kebijakan Moneter Kuantitatif
Kebijakan moneter kuantitatif yang sering diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Politik pasar terbuka (open market policy). yaitu dengan memengaruhi jumlah uang yang beredar dengan cara membeli dan menjual surat-surat berharga pemerintah
2.Politik diskonto (discount policy), yaitu dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga.
3.Perubahan cadangan minimum (minimum reserve requirement).
b. Kebijakan Moneter Kualitatif
Kebijakan moneter kualitatif, yaitu dengan mengawasi pinjaman dan melakukan investasi. serta mengadakan pertemuan langsung dengan bank-bank untuk melakukan langkah-langkah tertentu.
E. Istilah-istilah Tentang Uang
1.Inflasi adalah banyaknya jumlah uang (kertas) yang beredar sehingga nilai mata uang menjadi turun dan terjadi kenaikan harga-harga barang.
2.Deflasi adalah pengurangan jumlah uang (kertas) yang beredar sehingga terjadi penurunan harga¬harga barang (kebalikan dari inflasi).
3.Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing karena kebijakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian.
4.Revaluasi adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan nilai mats uang dalam negeri terhadap mata uang asing.
5.Apresiasi adalah peningkatan nilai mats uang dalam negeri karena mekanisme pasar.
6.Depresiasi adalah penurunan nilai mats uang dalam negeri karena mekanisme pasar.
7. Sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang bertujuan menjaga kestabilan nilai mats uang.
F. Inflasi
inflasi adalah banyaknya jumlah uang (kertas) yang beredar sehingga nilai mata uang menjadi turun dan terjadi kenaikan harga-harga barang.
a. Penyebab Inflasi
1.Inflasi karena tarikan permintaan (Demand pull inflation), yaitu inflasi yang terjadi karena adanya kenaikan permintaan dari masyarakat terhadap barang/jasa.
2.Inflasi karena dorongan biaya produksi (Cost push inflation), yaitu inflasi yang terjadi karena biaya produksi meningkat.
b. Teori-teori Inflasi
1.Teori kuantitas (Irving Fisher)
Menurut Irving Fischer, inflasi terjadi karena penambahan volume uang yang beredar di masyarakat dan dapat dirumuskan:
Keterangan:
M.V=P.T
M = money (uang)
V = velocity (kecepatan)
P = price (harga)
T= total (jumlah barang)
Menurut Irving Fisher. faktor yang dianggap tetap adalah V dan T sehingga jika M bertambah maka akan terjadi inflasi (kenaikan harga).
2.Teori Keynes
Menurut Keynes. Inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya.

Senin, 09 April 2012






KEBERADAAN surau dan atau sum­­bangsih­nya bagi kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Minang, tak bakal tergerus dari ingatan. Surau pernah berperan besar lagi sangat signifikan. Selain sebagai tempat beri­badah, ia menampung kakek-kakek uzur tiada berdaya, para duda, musafir atau anak dagang. Apalagi anak-anak serta remaja yang hendak menuntut ilmu: dunia dan akhirat.


Di surau, seorang anak terutama remaja putra akilbalig tidak hanya diwajibkan mengaji-mendalami Al-Quran atau seluk-beluk agama Islam, tetapi juga dibekali ilmu bela diri pencak silat dan kesenian. Kecuali itu, mereka pun dilatih menyimak dan menuturkan berbagai pengalaman sehari-hari, serta mendiskusikan permasalahan hidup dan kehi­du­pan.

Demikianlah arti kebera­daan surau, setidaknya, pada beberapa dekade akhir abad XIX hingga penggalan kedua abad ke-20. Tak heran kalau dari surau kemudian muncul banyak tukang kaba yang piawai berkisah, yang keprofe­sionalan­nya diperhitungkan di berbagai ajang seperti acara alek nagari, pesta perkawinan, khitanan dan juga di stasiun-stasiun kereta api atau di lepau-lepau kopi. Artinya adalah, surau turut serta mengukuh-kembangkan tradisi sastra(wan) lisan Mi­nang­kabau. Bahkan ada yang meng­klaim, bahwa benang merah peralihan dari sastra lisan ke sastra tulis pada etnik yang tak punya aksara ini, bisa ditelusuri melalui sejarah pertumbuhan pendidikan surau. Orang-orang surau, pada kurun tertentu, dengan gemilang berhasil membudidayakan huruf Arab menjelma menjadi aksara Arab-Melayu untuk mengkonkretkan buah pikiran mereka dalam bentuk tulisan atau buku. Dan sebagaimana diketahui, setelah mengenal huruf Latin, sederetan panjang (nama) pengarang asal daerah ini mendominasi paling tidak tiga dasawarsa awal perjalanan kesusastraan Indo­nesia modern.

Namun sesungguhnyalah, hampir semua tokoh kenamaan di berbagai bidang mengawali segalanya di dan dari surau. Sebutlah para intelektual (ekonom, ahli hukum, politikus, jurnalis, sejarawan, negarawan maupun diplomat ulung) seka­liber H Agoes Salim, Bung Hatta, Moh. Yamin, Tan Mala­ka, Natsir, Hamka dan lain sebagainya. Demikian pula tokoh pembaharu Sumatera Thawalib seperti H Abdul Karim Amrullah alias Inyiak Rasua (dikenal sebagai Doktor HC pertama di Indonesia) dan Zainuddin Labay El Yunusiy, atau Abdullah Ahmad pendiri perguruan Adabiah ketiganya murni berpendidikan surau dan, untuk sekian lama meng­ajar atau berkiprah di Surau Jambatan Basi Padang Panjang.

Pendek kata, surau senan­tiasa membuka pintu selebar-lebarnya buat semua orang. Surau berhasil menyalurkan aspirasi para orangtua, menjadi tumpuan harapan masyarakat Minang. Agaknya, tak ada urang awak yang tak pernah bersentuhan dengan surau. Ironinya, kenapa tradisi kesu­rauan yang terang-terangan bermanfaat dan berhasil mela­hirkan sejumlah figur kharis­matik bertaraf nasional mau pun internasional itu sirna. Tidakkah seyogianya dihidup­kan kembali?

Tak berlebihan kiranya kalau muncul kesadaran dan pemikiran yang mengusik seperti itu, yang kemudian mengental setelah melihat kenyataan semakin minimnya orang Minang yang berprestasi dan sukses di forum-forum bergengsi lagi menentukan, semakin tipisnya pemahaman beragama dan kian merosotnya rasa serta nilai-nilai keminang­kabauan di tengah masyarakat.

Tetapi menurut hemat saya, keprihatinan orang Minang saat ini takkan selesai dengan hanya mendengung-dengungkan tra­disi kesurauan melalui wacana “pendidikan bernuansa surau”. Dengan kata lain, idiomatik “kembali ke surau” yang bebe­rapa waktu berselang santer diteriakkan sebagian orang Minang (baca: para senti­mentalis-konservatif) memang tidak lebih dari semacam jargon yang kini sudah kehilangan gaung.

Seperti dan atau bagaimana surau dimaksud diprogramkan belum jelas formulasi dan duduk-tegaknya. Selintas saya memfantasikan sebuah surau yang sinkron dengan kekinian: dilengkapi fasilitas modern seperti perpustakaan, sarana dan prasarana olah raga, peralatan musik, televisi, komputer serta P(lay)-(S)tation yang game-gamenya bernuansa Islam(i), sehingga anak-anak maupun remaja betah.

Di samping itu, kalau kita mencoba membolak-balik lembaran sejarah masa lalu bangsa ini, akan ditemui sesuatu yang mencengangkan, yang bisa jadi dicap sebagai tesis atau analisis yang harus dibuk­tikan kebenarannya.

Politik atau sistem pe­merin­tahan yang diterapkan kolonialisme Belanda selama berabad-abad begitu membe­lenggu bangsa Indonesia, termasuk etnik Minangkabau. Dan ini, lambat-laun membuat kalangan bernalar tinggi sadar, bahwa kalau ingin maju dan merdeka kita musti berani menentukan sikap. Dalam segala hal kita tidak perlu tergantung pada penguasa yang senantiasa membatasi ruang gerak kita di tanah air sendiri, terutama hak untuk mem­peroleh pendidikan (formal).

Nah, pada gilirannya, mere­ka yang memahami pentingnya pendidikan dan ilmu penge­tahuan pun melirik dan berbon­dong-bondong mendaya­guna­kan surau, yang kala itu meru­pa­kan salah sebuah (atau mungkin satu-satunya) alternatif paling aman. Surau toh meru­pakan lembaga agama dan produk budaya asli yang relatif steril dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda.

Maka dengan demikian jelaslah, pada satu kurun waktu tertentu orang-orang yang sadar, cerdas dan ber­semangat pergi dan menimba ilmu di surau-surau. Komuni­tas surau bukan hanya terdiri dari orang-orang yang “berpu­tus-asa” belaka lagi. Pamor surau tidak identik lagi dengan orang tua uzur, para duda, remaja tanggung, orang kema­laman dan kelusuhan pakiah (santri) yang memakai peci yang sudah memudar, baju gunting cina, berkain sarung, kemana-mana menyan­dang buntil(an) beras dan kotak wakaf, berujar mem­bung­kuk-bungkuk dan tidak berani menatap mata lawan bicara yang kelihatan lebih “wah”.

Jadi, bicara tentang “kejaya­an (pendidikan) surau” adalah menyangkut situasi dan kondisi zaman semata, yang tidak boleh tidak menuntut konsekuensi logis dalam hal memilih yang dirasa paling baik dan efektif.

Sekadar berargumen, sete­lah bangsa Belanda angkat kaki dari negeri ini orang Minang seolah-olah “membelakang” ke surau. Para orangtua, dan begitu pula dengan anak-anak tergo­long pintar punya kecen­deru­ngan kemo­dernan lahiriah dalam bentuk mengutamakan pendidikan yang dilaksanakan di gedung-gedung mentereng yang berorientasi ke dunia belahan Barat yang, walau bagaimanapun, memang lebih menjanjikan dan menawarkan harapan-harapan (bersifat) duniawi.

Dan dewasa ini sosok surau mengedepan mem­perlihatkan wujud dan corak tersendiri. Di pedesaan surau sering diman­faatkan oleh para remaja yang suka bega­dang. Sementara di wilayah perkotaan, surau pada umum­nya ditangani garin alias “mahasiswa praktik” yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi berbasis (agama) Islam untuk kemu­dian hengkang setelah meraih gelar sarjana guna mencari pekerjaan yang dipandang lebih baik.

Namun, kendati surau seolah tidak bisa lagi mem­posisikan diri sebagai sentra sosio-kultural berorientasi keagamaan, satu hal, surau tetap merupakan tempat beribadah: sembahyang dan mengaji.


Kawasan Sumatera Barat pada masa lalu merupakan bagian dari Kerajaan Pagaruyung. Namun wilayah Sumatera Barat saat ini tidak mencerminkan keseluruhan luas dari wilayah Kerajaan pagaruyung. Hal ini tidak terlepas dari penguasaan penjajah yang telah memecah wilayah Pagaruyung hingga menyisakan sebatas wilayah Provinsi Sumatera Barat yang dikenal saat ini.
Bermula dari pemerintahan kolonial Inggris di Sumatera pada tahun 1811 yang memilih pusat pemerintahannya di Bengkulu. Wilayah Pagaruyung saat itu dimasukkan dalam wilayah pesisir Barat (West Coast region). Sebuah wilayah yang membentang dari bagian Selatan Lampung sampai ke Singkil di bagian pesisir Barat Aceh. Gubernur Jenderal Raffles membentuk kesatuan wilayah ini setelah melihat fakta rangkaian mata rantai sebaran etnis Minang pesisir yang tidak terputus di sepanjang pesisir Barat Sumatera pada masa itu. Setelah penyerahan wilayah Sumatera kepada Kerajaan Belanda pasca rekapitulasi Napoleon di Eropa, Inggris hanya menyisakan wilayah Bengkulu sebagai basisnya di Sumatera yang berakses ke Samudera Hindia. Dalam hal ini penentuan batas Bengkulu dilakukan sepihak oleh Inggris dengan memasukkan wilayah Minangkabau Mukomuko dalam administrasi Bengkulu. Setelah penyerahan Bengkulu kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda tahun 1824, wilayah Mukomuko tetap dipertahankan dalam administratifBengkulu.
Kedatangan Belanda ke wilayah Sumatera Barat pasca penyerahan dari Inggris, bersamaan dengan saat terjadinya Perang Padri yang mengoyak bumi Pagaruyung. Perang yang sejatinya bermula dari konflik internal masyarakat Minangkabau sejak tahun 1803, berubah menjadi perang besar setelah Belanda melibatkan diri dalam konflik tersebut pada tahun 1821. Belanda yang berniat menguasai daerah Pagaruyung, memihak dan membantu golongan adat dan bangsawan yang berperang melawan golongan Ulama Pembaharuan (Paderi). Perang diakhiri dengan kekalahan pihak pejuang Paderi pada tahun 1837 dan benteng terakhir kaum Paderi di Dalu Dalu Rokan Hulu ditaklukkan. Setelah perjanjian yang dibuat oleh pemuka Adat serta kerabatYang Dipertuan Pagaruyung, dan berakhirnya Perang Padri, kawasan ini menjadi dalam pengawasan Belanda.
Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda pasca Perang Paderi, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust. Dalam hal ini meliputi wilayah Pagaruyung ditambah wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Selanjutnya wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust diperluas oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga juga mencakup daerah Tapanuli, dan Singkil. Hal ini mendapat protes keras dari tokoh adat Minangkabau yang tidak menyetujui dimasukkannya wilayah pedalaman Tapanuli yang bersuku Batak ke dalamGouvernement Sumatra's Westkust, kecuali sepanjang daerah pesisir yang beretnis Minang. Kemudian pada tahun 1905wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli. Sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Wilayah Bengkulu kembali menjadi sebuah wilayah Residentie Bengkulu.
Wilayah Minangkabau menyisakan Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden. Dalam hal ini minus Mukomuko dan daerah pesisir dari Natal hingga Singkil yang beretnis Minang pesisir. Namun saat dilakukan pelepasan wilayah Residentie Tapanuli tersebut, oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dilepaskan pula beberapa wilayah Minangkabau pedalaman yaitu : wilayah Rokan Hulu dan wilayah Kuantan Singingi yang diberikan kepada Residentie Riouw yang baru dibentuk saat itu pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust. Wilayah Kerincidiserahkan kepada Residentie Djambi yang juga baru dibentuk pada periode yang hampir bersamaan.
Kemudian di tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust. Pemerintahan kolonialHindia Belanda menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia yang beretnis non Minangkabau ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Selanjutnya pada tahun 1935 wilayah Kerinci digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust.
Pada masa pendudukan tentara Jepang Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar / Bangkinang dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Pada awal kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Pada tahun 1949, Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera UtaraSumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah.
Pasca kekalahan PRRI di Sumatera, berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Sumatera Tengah kemudian dipecah lagi menjadi 3 provinsi yakniProvinsi Sumatera BaratProvinsi Riau, dan Provinsi JambiProvinsi Sumatera Barat memperoleh bagian wilayah yang paling kecil diantara ketiga provinsi baru ini, karena beberapa wilayah bersuku Minang dilepaskan dari induk rumpunnya.
Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah KamparRokan Hulu, dan Kuantan Singingi yang bersuku, berbudaya, dan berbahasa Minang semuanya ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau. Pada awalnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini adalah masih tetap di kota Bukittinggi. Kemudian ibukota dipindahkan ke kota Padang berdasarkan SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat.

Geografi

Danau Diatas, salah satu danau dikabupaten Solok
Pulau sikuai, salah satu kawasan wisata bahari di Padang
Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera, memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk olehBukit Barisan. Garis pantai provinsi ini seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia dan beberapa puluh kilometer dari lepas pantai Sumatera Barat termasuk dalam provinsi ini.
Sumatera Barat memiliki beberapa danau, di antaranya adalah danau Singkarak yang membentang di kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar dengan luas 130,1 km², danau Maninjau di kabupaten Agam dengan luas 99,5 km², dan danau Kembar di kabupaten Solok yakni danau Diatas dengan luas 31,5 km², dandanau Dibawah dengan luas 14,0 km² .
Beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, di antaranya adalah sungai Siaksungai Rokansungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), sungai Kampar, dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. Sementara sungai-sungai yang bermuara di provinsi ini berjarak pendek, di antaranya adalah Batang AnaiBatang Arau, dan Batang Tarusan.
Sumatera Barat memiliki 29 gunung yang tersebar di 7 kabupaten dan kota. Beberapa di antaranya adalah gunung Talamau di kabupaten Pasaman Barat yang merupakan gunung tertinggi di provinsi ini dengan ketinggian 2.913 meter, gunung Marapi di kabupaten Agam dengan ketinggian 2.891 m, gunung Sago dikabupaten Lima Puluh Kota dengan ketinggian 2.271 m, gunung Singgalang di kabupaten Agam dengan ketinggian 2.877 m, gunung Tandikat di kabupaten Padang Pariaman dengan ketinggian 2.438 m, gunung Talang di kabupaten Solok dengan ketinggian 2.572 m, dan gunung Pasaman di kabupaten Pasaman Barat dengan ketinggian 2.190 m.

Keanekaragaman hayati

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan tropis alami dan dilindungi. Berbagai spesies langka masih dapat dijumpai, misalnya Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), harimau sumatera,siamangtapirrusaberuang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.
Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini, yaitu Taman Nasional Siberut yang terdapat di pulau Siberut (Kabupaten Kepulauan Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat provinsi: Sumatera Barat, JambiBengkulu, dan Sumatera Selatan.
Selain kedua Taman Nasional tersebut terdapat juga beberapa cagar alam lainnya, yaitu Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Air Putih di daerah Kelok Sembilan, Cagar Alam Lembah Harau, Cagar Alam Beringin Sakti dan Taman Raya Bung Hatta.

Sumber daya alam

Sumber daya alam yang ada di Sumatera Barat adalah berupa batubara, batu besi, batu galena, timah hitamsengmanganemasbatu kapur (semen), kelapa sawitkakaogambir dan hasilperikanan.