Menelusuri Jejak Imigran Jawa di Suriname
Wajah
Sidin pada pas foto di surat kesehatannya terlihat gagah. Pemuda asal
Pekalongan itu menggunakan ikat kepala kain khas pemuda daerah pesisir
Jawa, tidak berbaju dan bercelana putih.
Dalam foto tahun 1908
yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk pelengkap surat kesehatan
sebagai syarat mengiriman Sidin ke Suriname itu dia berpose duduk santai
dengan tangan di atas paha.
Bagi cucu Sidin, foto itu mempunyai arti penting dan bersejarah.
Maurit
S Hassankhan/Sandew Hira memuat foto Sidin itu dalam buku Historische
Database Van Suriname, Gegevens Over de Javaanse Immigranten (Data
Sejarah Suriname, Data Imigrasi Orang Jawa) yaitu buku yang berisi data
para imigran Jawa ke Suriname.
Buku
yang terbit atas gagasan Amrit Consultancy dan Institut Riset Ilmu
Sosial Universitas Suriname itu secara menakjubkan berhasil memuat
lengkap data menyangkut 32.965 orang Jawa yang 114 tahun lalu menjadi
pekerja dan bermigrasi ke Suriname.
Dalam rencana semula buku itu
sebenarnya untuk memuat data imigran Hindustani ke Suriname, namun saat
proyek berjalan muncul ide untuk memasukkan pula data jati diri
orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah Kolonial Belanda ke daerah
jajahannya, Suriname, sejak 9 Agustus 1890 hingga 13 Desember 1939.
Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirim ke Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.
Para
pekerja asal Jawa itu pada 1890-1914 di berangkatkan dari Jawa dalam
kelompok-kelompok kecil dari daerah pemberangkatan mereka dari Jakarta
(Batavia) dan Semarang.
Di suriname mereka dipekerjakan di ladang
dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada
angkatan ke 77 pada tahun 1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan
kereta api.
Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.
Dalam
data yang tercantum pada buku itu dimuat nama imigran, nama orang tua,
jenis kelamin, usia saat diberangkatkan, hubungan keluarga dengan
pekerja lainnya, tinggi badan, agama (semua disebutkan Islam), tempat
tinggal terakhir, tempat keberangkatan, tanggal tiba di Suriname,
lembaga perekrut, perusahaan yang mempekerjakan, daerah tempat bekerja
di Suriname, nomer kontrak dan keterangan perubahan jika ada.
Mereka
dikontrak untuk bekerja selama lima tahun, tetapi kenyataannya sebagian
besar dari mereka terpaksa bekerja seumur hidupnya.
Dalam buku itu
disebutkan hingga pada tahun 1954 sekitar 8.684 (26 persen)imigran
tersebut sudah dikembalikan ke kampung halaman masing-masing.
Mereka
yang ingin tinggal menjadikan Suriname sebagai kampung halaman, tetapi
disebutkan pula ada sebagian orang yang memilih menjadi warga negara
Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena ingin
mendapatkan tunjangan sosial.
Kisah Suwarto Mustaja, tokoh masyarakat Jawa Suriname, bisa menjadi contoh.
Suwarto
salah seorang keturunan para imigran Jawa pada saat muda gigih berjuang
bersama orang tua dan masyarakat Jawa lainnya untuk mendapatkan hak
mereka agar bisa dikembalikan ke Indonesia, tetapi ketika pemerintah
Belanda mengijinkan mereka pulang, ibunya justru menangis dan memilih
untuk tetap tinggal di Suriname.
“Di sini kamu (Suwarto) lahir dan di sini aku akan tinggal,” kata Ibu Suwarto dengan linangan air mata.
Dengan
berat hati Suwarto muda akhirnya memilih untuk tetap tinggal di
Suriname, meskipun bapaknya mendesaknya agar kembali ke Indonesia.
Meski pahit hidup di perkebunan di Suriname, terpaksa mereka terima apa adanya.
Kini
keturunan mereka tidak lagi bekerja di perkebunan milik perusahaan
Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan Belanda sudah
tutup atau bangkrut.
Sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan
‘kebebasan’ itu beralih profesi menjadi pedagang dan ternyata meraih
sukses, bahkan ada yang mampu mendapat pemasukan bersih US$20.000 per
bulan seperti yang dialami Wilem Sugiono.
Tetapi, ada banyak pula
bekas imigran dan keturunannya yang masih tetap berladang di tanah
seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.
Jenifer, ibu seorang anak relatif beruntung dibandingkan keturunan imigran Jawa lainnya.
Perempuan yang bersuamikan pria bernama Azis itu mengelola kafe kecil di samping hotel meiliknya.
“Saya hanya bisa sedikit berbahasa Jawa,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Di samping bahasa Inggris, dia juga fasih berbahasa Belanda, sebagaimana sebagian besar orang keturunan Jawa lainnya.
Dengan memiliki hotel berbintang dua, cafe dan kompleks perbelanjaan dia terlihat hidup nyaman di Paramaribo, ibukota Suriname.
Paramaribo
adalah kota kecil, dibandingkan kota di Indonesia, tetapi kota itu
terlihat eksotik dengan gedung-gedung peninggalan Belanda yang memenuhi
kota.
Tonggak hubungan
Kedubes RI di kota itu sejak 1980 hingga
sekarang berusaha menjaga hubungan baik dengan Suriname, terutama
dengan warga Jawa dan keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%)
dari 481.146 penduduk Suriname.
Tonggak hubungan baik itu terlihat
pada pendirian Gedung Sono Budoyo pada 1990 yang mendapat bantuan dari
Soeharto, Persiden RI pada masa itu.
Gedung disertai sebuah tugu yang
dibangun pada tahun 1990 itu sekaligus untuk memperingati 100 tahun
kedatangan orang Jawa di Suriname.
Pada tahun 2005, di suriname
akan diadakan peringatan tahun ke-115 kedatangan orang Jawa di negara
yang merdeka pada 25 November 1975 itu.
Pemerintah Indonesia dan
Suriname melanjutkan tradisi bersahabat dengan mengadakan sejumlah
pertemuan, diantaranya pertemuan Komisi Bersama Bilateral I RI-Suriname
yang berlangsung di Paramaribo pada 03-05 April 2003.
Pada 22
November 2004 diadakan sidang lanjutan di Jogjakarta. Pada pertemuan
kedua itu disepakati adanya sejumlah kegiatan diantaranya pelatihan di
bidang otomotif bagi warga Suriname yang akan dilaksanakan di Indonesia
pada 2005.
Indonesia juga akan mengundang pembicara dari Suriname
untuk membahas peringatan 115 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname dan
100 tahun pelaksanaan transmigrasi di Indonesia.
Dalam pertemuan
Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk Depnakertrans
Sugiarto Sumas dengan Menteri Perencanaan dan Kerjasama Pembangunan
Suriname Keremchand Raghoebarshing dan Menteri Perburuhan, Pengembangan
Teknologi dan Lingkungan Clifford Marica di Paramaribo terungkap
keinginan kedua pihak untuk mengadakan lebih banyak kegiatan.
Diantaranya,
pengiriman tenaga ahli dari Indonesia untuk melatih tenaga Suriname di
berbagai bidang diantaranya pertanian, pariwisata, agribisnis,
agroindustri dan pengelolaan hutan.
Suriname juga sangat berminat
untuk mempelajari cara Indonesia mengembangkan daerah produktif baru
untuk perkebunan atau pengembangan suatu wilayah.
Komisi bersama,
sebenarnya sudah membahas berbagai bidang kerja sama kedua negara,
seperti pertukaran pengalaman pembangunan nasional, meningkatkan
perdagangan kedua negara, investasi, angkutan udara, turisme, kerja sama
di bidang teknis, bantuan di bidang pelatihan, pendidikan, beasiswa non
geloar, kerja sama di bidang komunikasi dan informasi, pencegahan
kejahatan, pertahanan, dan sejumlah isu lainnya.
Kerinduan para
imigran dan keturunannya akan budaya Jawa juga terungkap dalam pertemuan
masyarakat keturunan imigran Jawa dengan Dubes RI Suparmin Sunjoyo dan
Sugiarto Sumas di Distrik Wanica, dekat dari Paramaribo.
Sarmo,
seorang warga keturunan Jawa pada kesempatan itu mendesak agar Indonesia
segera megirim Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari untuk
mereka.
Dia juga mengharapkan Indonesia bisa mengirim pakar
pertanian. Sementara keluarga imigran lainnya menagih janji pengiriman
guru pencak silat.
Suparmin menjawabnya dengan simpati.
“Saya
sudah bertemu dengan Sultan HB X, beliau menyangupi untuk mengirim guru
bahasa Jawa, dalang dan guru tari. Jadi, saya sudah berusaha mewudjukan
keinginan tersebut sebelum Pak Sarmo memintanya,” kata Suparmin lalu
disambut tepuk tangan hadirin.
Mengenai, permintaan guru pencak
silat, Dubes juga sudah membicarakannya dengan Prabowo, tokoh pencak
silat Indonesia, sedangkan untuk penyediaan tenaga ahli pertanian,
Suparmin akan membicarakannya dalam pertemuan lanjutan ketiga Komisi
Bersama kedua negara dalam waktu dekat.
Interaksi Indonesia dan
Suriname bisa tergambar pada antusiasme dan desakan Sarmo dan
kawan-kawan akan peningkatan keterlibatan Indonesia dalam sendi-sendi
kehidupan mereka.
“Indonesia adalah saudara kulo. Negara mbah kulo,” kata Sarmo.
Sarmo dan kawan-kawan memang “saudara” bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan.
0 komentar:
Posting Komentar